Keluarga

Mencegah Perselingkuhan ala Islam

Oleh: Zulia Ilmawati, S.Psi.

(Psikolog, Pemerhati Masalah Anak dan Keluarga)

Setidaknya ada dua masalah inti yang bisa menyebabkan munculnya perselingkuhan, yakni internal dan eksternal.

Pertama, masalah internal.

Pernikahan pada dasarnya mempertemukan dua orang yang mempunyai kepribadian, sifat, karakter, latar belakang keluarga, dan problem yang berbeda satu sama lain. Karena itu, tidak mengherankan jika kehidupan dalam rumah tangga kadang tidak seindah harapan. Ketidakmatangan masing-masing pasangan ikut memengaruhi dinamika yang terjadi dalam menghadapi setiap persoalan rumah tangga.

Jika masing-masing tidak berusaha memperbaiki diri atau malah justru mencari hiburan dan kompensasinya sendiri, maka pengikat di antara keduanya semakin pudar.

Jika ini tidak segera diatasi, cepat atau lambat akan  memengaruhi kualitas hubungan suami-istri. Sikap apatis, pasif, atau bahkan pasif-agresif bisa menjadi indikasi adanya masalah dalam kehidupan pernikahan seseorang.

Emotional divorce (keterpecahan emosi) yang banyak dialami oleh suami-istri, baik yang baru maupun yang sudah lama menikah, membuat hubungan cinta kasih akhirnya padam dan menjadi dingin. Meskipun secara fisik pasangan suami-istri masih tinggal serumah, secara emosional terdapat jarak yang membentang.

Dengan pudarnya cinta dan kasih sayang, semakin longgarlah ikatan dan komunikasi di antara pasangan yang bisa mendorong salah satu atau keduanya mencari seseorang yang dapat memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan emosional maupun kebutuhan fisik, termasuk seks.

Apalagi jika kemudian masing-masing pasangan tidak memiliki pemahaman tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan berumah tangga dan mengatasi persoalan yang muncul menurut ajaran Islam.

Debbie Layton-Tholl mengungkapkan bahwa perselingkuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah menikah pada dasarnya bukan karena untuk mencari kepuasan seksual semata. Persentase terbesar (90%) perselingkuhan terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan emosional pasangan.

Kebutuhan seksual bukanlah menjadi alasan pertama dan utama. Perilaku seksual yang sering mewarnai affair ataupun perselingkuhan sering hanya merupakan sarana untuk memelihara dan mempertahankan affair tersebut, bukan menjadi alasan utama.

Kedua, masalah eksternal.

Dalam pandangan kapitalis, hubungan pria dan wanita merupakan pandangan yang bersifat seksual semata, bukan pandangan untuk melestarikan keturunan manusia.

Oleh karena itu, mereka sengaja menciptakan fakta-fakta yang terindra dan pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual di hadapan pria dan wanita dalam rangka membangkitkan dorongan seksual untuk dipenuhi.

Mereka menganggap bahwa gejolak naluri yang tidak dipenuhi mengakibatkan kerusakan pada diri manusia, baik terhadap fisik, psikis, maupun akalnya.

Dari sini, kita bisa memahami mengapa banyak komunitas masyarakat selalu menciptakan pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual (fantasi-fantasi seksual), baik dalam cerita-cerita, lagu-lagu, maupun berbagai karya mereka lainnya.

Belum lagi kebiasaan gaya hidup campur-baur antara pria dan wanita yang tidak semestinya di dalam maupun di luar rumah. Semua ini muncul karena mereka menganggap tindakan-tindakan semacam itu merupakan hal yang lazim dan penting sebagai bagian dari sistem dan gaya hidup mereka.

Kiat Menghindari Perselingkuhan Secara Islam

1. Menjalankan kehidupan rumah tangga secara islami.

Sebagai sebuah ibadah, pernikahan memiliki sejumlah tujuan mulia. Memahami tujuan itu sangatlah penting guna menghindarkan pernikahan bergerak tak tentu arah yang akan membuatnya sia-sia tak bermakna.

Tujuan-tujuan itu adalah untuk mewujudkan mawaddah dan rahmah, yakni terjalinnya cinta kasih dan tergapainya ketenteraman hati (sakinah) (QS ar-Rum: 21); melanjutkan keturunan dan menghindarkan dosa; mempererat tali silaturahmi; sebagai sarana dakwah; dan menggapai mardhatillah.

Jika tujuan pernikahan yang sebenarnya dipahami dengan benar, insya Allah akan lebih mudah bagi suami-istri meraih keluarga sakinah dan terhindar dari konflik-konflik yang berkepanjangan. Sebab, kesepahaman tentang tujuan pernikahan sesungguhnya akan menjadi perekat kokoh sebuah pernikahan.

Islam memandang pernikahan sebagai “perjanjian yang berat (mîtsâq[an] ghalîdza)” (QS an-Nisa’ [4]: 21) yang menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajibannya.

Islam mengatur dengan sangat jelas hak dan kewajiban suami-istri, orang tua dan anak-anak, serta hubungan dengan keluarga yang lain. Islam memandang setiap anggota keluarga sebagai pemimpin dalam kedudukannya masing-masing.

Dengan kata lain, pernikahan haruslah dipandang sebagai bagian dari amal saleh untuk menciptakan pahala sebanyak-banyaknya dalam kedudukan masing-masing melalui pelaksanaan hak dan kewajiban dengan sebaik-baiknya.

Ketimpangan atau terabaikannya hak dan kewajiban, misalnya soal nafkah, pendidikan, atau perlindungan, tentu akan dengan sangat mudah menyulut perselisihan dalam keluarga yang bisa berpeluang untuk terjadi perselingkuhan.

2. Atasi berbagai persoalan suami-istri dengan cara yang benar (islami) dan tidak melibatkan orang (lelaki atau perempuan) lain.

Dalam kehidupan rumah tangga, tidak selalu mudah menyatukan dua pribadi yang berbeda dan dengan latar belakang yang berbeda. Konflik menjadi suatu hal yang mudah terjadi dalam kehidupan rumah tangga.

Kesabaran merupakan langkah utama ketika mulai muncul perselisihan. Islam memerintahkan kepada suami-istri agar bergaul dengan cara yang baik, serta mendorong mereka untuk bersabar dengan keadaan masing-masing pasangan; karena boleh jadi di dalamnya terdapat kebaikan-kebaikan.

Jika dibutuhkan orang ketiga untuk membantu menyelesaikan persoalan, maka jangan sekali-sekali melibatkan lawan jenis yang bukan mahramnya; seperti teman sekantor, tetangga, kenalan, dan sebagainya.

Awalnya mungkin hanya sebatas curhat, tetapi tanpa disadari, jika sudah mulai merasa nyaman persoalan mungkin justru tidak terpecahkan.

Yang kemudian terjadi adalah munculnya rasa saling ketergantungan dan ketertarikan. Hal ini bisa menjadi awal dari kedekatan di antara mereka dan peluang untuk terjadinya perselingkuhan.

3. Menjaga pergaulan dengan lawan jenis di tengah-tengah masyarakat.

Dalam pandangan Islam hubungan antara pria dan wanita merupakan pandangan yang terkait dengan tujuan untuk melestarikan keturunan, bukan semata-mata pandangan yang bersifat seksual.

Dalam konteks itulah, Islam menganggap berkembangnya pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual pada sekelompok orang merupakan keadaan yang membahayakan.

Oleh karena itu, Islam memerintahkan pria dan wanita untuk menutup aurat, menahan pandangannya terhadap lawan jenis, melarang pria dan wanita ber-khalwat, melarang wanita bersolek dan berhias di hadapan laki-laki asing (nonmahram).

Islam juga telah membatasi kerjasama yang mungkin dilakukan oleh pria dan wanita dalam kehidupan umum serta menentukan bahwa hubungan seksual antara pria dan wanita hanya boleh dilakukan dalam dua keadaan, yaitu: lembaga pernikahan dan pemilikan hamba sahaya.

4.  Poligami.

Islam telah menjadikan poligami sebagai sesuatu perbuatan mubah (boleh), bukan sunah, bukan pula wajib. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan dalam An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâm,

“Harus menjadi kejelasan, bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai kewajiban atas kaum Muslim, bukan pula suatu perbuatan yang mandub (sunah) bagi mereka, melainkan sesuatu yang mubah, yang boleh mereka lakukan jika mereka berpandangan demikian.

Dasar kebolehan poligami tersebut karena Allah Swt. telah menjelaskan dengan sangat gamblang tentang hal ini (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 3).

Poligami bisa menjadi solusi di tengah kehidupan pergaulan lawan jenis seperti sekarang ini. Anehnya, poligami justru banyak ditentang, sementara perselingkuhan dibiarkan merajalela.

Praktik poligami yang salah di tengah-tengah masyarakat tidak boleh menjadi alasan untuk menolak poligami. Sebab, realitas itu terjadi karena praktik poligami tidak dijalankan sesuai dengan tuntunan Islam.

Alasan bahwa wanita menjadi sakit hati dan tertekan karena suaminya menikah lagi juga tidak tepat. Perasaan tersebut hanya akan muncul akibat adanya anggapan bahwa poligami sebagai sesuatu yang buruk. Itu terjadi karena kampanye masif yang dilancarkan kalangan antipoligami.

Sebaliknya, jika istri menganggap poligami sebagai sesuatu yang baik, perasaan sakit hati dan tertekan akibat suaminya berpoligami tidak terjadi. Allah Swt. telah memberikan peringatan yang tegas kepada para suami yang berpoligami (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 129).

Intinya, Allah Swt. memerintahkan kepada seorang suami untuk menjauhkan diri dari kecenderungan yang berlebihan kepada salah seorang istrinya dengan menelantarkan yang lain. Hal ini juga diperkuat dengan sebuah hadis Nabi saw., sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra. (HR Ahmad).

5. Memberikan hukuman bagi para pelaku perselingkuhan.

Pada hakikatnya perselingkuhan sama dengan perzinaan. Dalam pandangan Islam seorang yang berselingkuh/berzina mendapatkan hukuman yang sangat berat. Jika belum menikah, pelakunya harus dicambuk 100 kali, dan untuk yang sudah menikah harus dirajam sampai mati.

Hukuman yang berat ini akan menjadi pelajaran bagi pelakunya hingga menimbulkan jera sekaligus sebagai penebus dosa atas perbuatan yang dilakukan. Jika hukuman ini diterapkan, seseorang akan berpikir panjang sebelum melakukan perselingkuhan. (www.parenting.my.id)

Sumber : Muslimah News

About Author

Comment here