Oleh : Najmah Saiidah
Islam menjadikan lelaki sebagai kepala keluarga, pemimpin dalam keluarga, dan di pundaknyalah terletak tanggung jawab nafkah keluarga. Seorang ayah berkewajiban memenuhi seluruh kebutuhan istri dan anak-anaknya.
Islam juga sangat proporsional dalam membagi tugas rumah tangga. Kepala keluarga diberikan tugas utama yang mulia untuk menyelesaikan segala urusan di luar rumah, sedangkan sang ibu memiliki tugas utama yang mulia juga, yakni mengurusi segala urusan dalam rumah.
Allah berfirman yang artinya, “Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka.” (QS An-Nisa: 34).
Demikianlah, Islam telah mengatur kehidupan rumah tangga, sehingga terwujud ketenteraman dan kasih sayang di dalam keluarga.
Hanya saja, di tengah gempuran sistem kapitalisme yang mencengkeram keluarga muslim, kadang kala situasi ini tidak selalu berlangsung ideal. Tidak ada jaminan pemenuhan kebutuhan primer oleh negara, menjadikan keluarga muslim harus mencari sendiri dana untuk mencukupinya.
Terkadang, pendapatan yang diperoleh ayah tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh kebutuhan, terlebih di situasi pandemi ini ada sebuah kondisi yang menjadikan ayah kehilangan pekerjaan atau dirumahkan, akhirnya istri yang harus membantu suami agar seluruh kebutuhan dapat terpenuhi.
Solusi Islam
Islam adalah syariat yang diturunkan oleh Allah Sang Pencipta Manusia. Hanya Dialah yang Maha Mengetahui seluk beluk ciptaan-Nya. Hanya Dia yang Mahatahu mana yang baik dan memperbaiki hamba-Nya, serta mana yang buruk dan membahayakan mereka.
Oleh karena itu, Islam menjadi aturan hidup manusia yang paling baik, lengkap, dan mulia. Hanya Islam yang bisa mengantarkan manusia menuju kebaikan, kemajuan, dan kebahagiaan dunia akhirat.
Ketika situasi ini menimpa keluarga muslim, pada dasarnya Islam tidak melarang seorang istri untuk bekerja, membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Hanya saja Islam memberikan rambu-rambunya, agar kehidupan keluarga tetap berjalan dengan tenteram dan penuh keberkahan, di antaranya:
1. Kewajiban nafkah suami tetap, tidak gugur.
Dalam Islam, tidak ada larangan bagi wanita untuk bekerja atau mencari nafkah, tetapi bukan berarti posisi suami sebagai pencari nafkah utama lantas tergantikan. Mencari nafkah dan bekerja tetap menjadi tanggung jawab suami dan kewajiban ini tidak gugur jika istri bekerja.
Aturan ini tertuang dalam Al-Qur’an, di antaranya, “Merupakan kewajiban bapak (orang yang mendapatkan anak) untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan memberinya pakaian dengan cara yang wajar …. ” (QS Al-Baqarah: 233)
“Lelaki adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian manusia (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan disebabkan mereka memberi nafkah dengan hartanya ….” (QS An-Nisa’: 34)
“Agar orang yang memiliki kekayaan memberikan nafkah kepada (istri yang dicerai) dengan kekayaannya, sementara barang siapa yang rezekinya disempitkan, hendaknya dia memberi nafkah sesuai karunia yang Allah berikan kepadanya.” (QS Ath-Thalaq:7)
Dari tiga ayat tersebut, maka sudah jelas bahwa tugas bekerja dan mencari nafkah adalah kewajiban suami. Lagi pula tak ada satu nas pun yang menyebutkan bahwa istri wajib bekerja, apalagi untuk menjadi tulang punggung perekonomian keluarga.
Karenanya ketika suami diberhentikan pekerjaannya, maka seorang suami wajib tetap berusaha untuk mendapatkan harta yang halal untuk menafkahi keluarga. Demikian istri pun terus menyemangati suaminya untuk berusaha mencari nafkah bagi keluarganya.
2. Istri boleh bekerja, asalkan diizinkan suaminya dan tidak melalaikan kewajiban lainnya.
Memang mencari nafkah adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tapi Islam juga tidak melarang wanita untuk bekerja.
Ada sebuah hadis yang mengisahkan diperbolehkannya seorang wanita bekerja. Dari Rithah, istri Abdullah bin Mas’ud ra, ia pernah mendatangi Nabi saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya wanita pekerja, saya menjual hasil pekerjaan saya. Saya melakukan ini semua, karena saya, suami saya, maupun anak saya, tidak memiliki harta apa pun.” Ia juga bertanya tentang nafkah yang saya berikan kepada mereka (suami dan anak). Rasul menjawab, “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan pada mereka.” (HR. Imam Baihaqi).
Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syariat.
Ketika bekerja maka istri harus meminta izin terlebih dahulu kepada suami, karena ia wajib taat kepada suaminya. Mematuhi suami merupakan ketaatan utama untuk sang istri setelah ketaatan terhadap Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah disebutkan, “Pernah ditanyakan kepada Rasulullah Saw. ‘Siapakah yang paling baik?’ Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.’” (HR An-Nasa’i).
Seorang istri yang bekerja pun harus memastikan suami dan anak-anaknya tetap terurus, urusan di rumah tetap dijalankan. Intinya tugas utamanya sebagai ummun wa rabbatul bait tetap terlaksana dengan baik. Jika ia melalaikannya, maka ia berdosa.
3. Hukum-hukum yang harus dipenuhi istri ketika bekerja.
Wanita boleh bekerja, tetapi tetap harus menjaga agar tidak membahayakan agama dan kehormatannya, serta harus selalu memperhatikan hukum-hukum lain yang mengikutinya, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadapnya.
Dalam pekerjaannya, ia harus menjaga dirinya dengan baik, memakai pakaian muslimah secara sempurna—jilbab dan khimar—, tidak berhias berlebihan (tabarruj), tidak menampakkan perhiasan dan kecantikan kepada laki-laki asing, tidak ada ikhtilat (campur baur) dengan pria, serta tidak berkhalwat (berdua-duaan dengan laki-laki asing).
“Jika seorang wanita menjaga salat lima waktu, berpuasa sebulan (di bulan Ramadan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, ‘Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.’” (HR Ahmad).
Begitu pula dengan jenis pekerjaannya, tidak boleh melakukan pekerjaan yang sifatnya mengeksploitasi sisi kewanitaannya, seperti peragawati misalnya, atau pekerjaan yang menarik perhatian laki-laki asing sehingga mengalihkan pandangan dari pandangan biasa menjadi pandangan syahwat. Ia harus memilih pekerjaan lainnya yang bebas dari hal-hal yang bisa membahayakan kehormatannya.
Hal lain yang perlu diperhatikan terkait jenis pekerjaannya adalah pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan dalam rumah, karena mengurus rumah adalah pekerjaan wajibnya. Sedang pekerjaan luarnya bukan kewajiban baginya, dan sesuatu yang wajib tidak boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak wajib.
4. Harta hasil kerja istri adalah milik istri.
Harta yang diperoleh istri dari warisan, pemberian orang tuanya, ataupun bekerja, adalah murni menjadi miliknya dan tidak ada seorang pun yang boleh mengambilnya kecuali dengan kerelaan istri.
Hal ini dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an tentang mahar dalam QS An-Nisaa ayat 4, yang artinya, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Fatawa Syabakah Islamiyah menjelaskan tafsir ayat ini bahwa suami boleh mengambil harta istri jika disertai kerelaan hati. Kerelaan hati itu lebih dari sebatas izin. Karena terkadang ada wanita yang menghibahkan atau menghadiahkan hartanya atau semacamnya, disebabkan tekanan suami kepadanya. Harus diberikan tanpa kerelaan. Disimpulkan dari sini, bahwa yang menjadi acuan tentang halalnya harta istri adalah adanya kerelaan hati. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 32280)
Jika harta mahar, yang itu asalnya dari suami diberikan kepada istrinya, tidak boleh dinikmati suami kecuali atas kerelaan hati sang istri. Maka, harta lainnya yang murni dimiliki istri, seperti penghasilan istri atau warisan milik istri dari orang tuanya, tentu tidak boleh dinikmati oleh suaminya kecuali atas kerelaan istri juga.
Khusus masalah gaji istri yang bekerja, semuanya menjadi haknya. Suami tidak boleh mengambil harta itu sedikit pun, kecuali dengan kerelaan hati istrinya.
5. Ketika berbenturan dengan kewajiban lainnya.
Tidak dapat dimungkiri bahwa dalam setiap kita menjalankan berbagai aktivitas, kadang kala aktivitas yang satu dengan aktivitas lainnya berbenturan. Terkait hal ini pun, syariat Islam telah memberikan panduannya, yaitu konsep aulawiyaat, konsep prioritas pelaksanaan hukum syarak.
Konsep ini menuntun kita untuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban daripada yang sunah dan mubah, mendahulukan yang sunah daripada yang mubah, serta mendahulukan yang fardu ain daripada yang fardu kifayah.
Bahkan, jika pun fardu ain yang satu berbenturan dengan fardu ain lainnya, yang diprioritaskan adalah yang lebih darurat menurut syarak, bukan menurut penilaian manusia.
Ketika pun berbenturan antara kewajiban yang satu dengan kewajiban yang lain, seseorang dituntut untuk mendahulukan kewajiban yang satu dan menunda kewajiban yang lain sementara waktu, bukan meninggalkan kewajiban tersebut.
Hal ini pula yang kadang dialami oleh ibu bekerja. Pada satu sisi ia terikat dengan akad pekerjaannya, dan pada saat yang sama ia tidak mendapatkan orang yang dapat dipercaya dan aman bagi perkembangan fisik, mental, dan nilai agamanya, sementara ia tidak bisa membawa anaknya ke tempat pekerjaannya.
Dalam hal ini, ia harus memilih tinggal di rumah untuk mengasuh anaknya agar tujuan pengasuhan anaknya tercapai yaitu tidak terjerumus kepada kebinasaan.
Bagaimanapun juga, ketika aktivitas yang mubah (boleh)—dalam hal ini bekerja bagi wanita—berbenturan dengan aktivitas yang wajib, yaitu mengasuh anak, maka yang harus dimenangkan adalah yang wajib, yaitu mengasuh anak.
Khatimah
Demikianlah, Islam telah mengatur dan memberi tuntunan yang sangat luar biasa kepada umatnya, sehingga seluruh hak dan kewajibannya bisa terlaksana dengan baik. Sekalipun Islam tidak melarang seorang istri untuk membantu nafkah suami ketika memang belum mencukupi, tetapi Islam telah memberikan rambu-rambu agar tugas utamanya tidak terlalaikan. Demikian juga, aturan ini tidak menjadikan seorang ayah atau suami—sebagai tulang punggung ekonomi keluarga—mengabaikan kewajibannya. Wallahu a’lam bishshawwab.
Sumber : Muslimah News
Comment here